Trending: Mas Javas

Semangat Kartini Yang Tak Lagi Murni

Pagi hari tanggal 21 april, ketika seorang ibu membawa anaknya ke salon, menata rambut dan pakaiannya untuk mengikuti acara parade pakaian daerah disekolahnya adalah hal biasa dan sering kita temui dan dilakukan pada peringatan Hari Kartini ini. Gaung semangat Kartini diseluruh media terdengar, menggelora, mulai dari liputan berita, acara talkshow sampai film pendek yang bertemakan emansipasi wanita.

Tapi jika ditelaah lebih lanjut lagi apa sebenarnya makna Hari Kartini, semangat apa yang ingin disampaikan oleh Kartini ?. Apakah hanya sebatas emanasipasi wanita yang konon katanya memberikan kebebasan manusia perempuan untuk bisa melakukan banyak hal terutama pendidikan. Apa sebenarnya semangat tujuan terdalam Kartini melakukan terobosan bagi para wanita?. Mungkin satu pernyataan Kartini dibawah ini dapat membuka kembali wacana kita mengenai makna emansipasi perempuan yang dimaksud oleh Ibu bangsa yang juga seorang visioner, seorang Ibu yang dapat melihat bahwa perempuan memiliki peran penting untuk bangsa ini kedepan.

“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan karena menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya.
Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
(Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)

Semangat Ibu untuk keluarga! Apakah kita sering mendengar lebih lanjut mengenai hal ini pada perayaan Kartini ?. Mungkin akan lebih mudah bagi kita menemukan berita mengenai peran dan emansipasi wanita dalam bidang pekerjaan dan karir, politik, kebebasan berekspresi, kesenian atau hal lainnya. Tak banyak dijumpai media informasi yang mengupas lebih lanjut secara mendalam tentang topik ini, “Semangat Ibu untuk keluarga” yang dikaitkan dengan hari Kartini.

Apakah ada yang keliru dengan pendapat atau pandangan tentang makna emansiapasi wanita yang ada saat ini?. Tidak ada. Hanya jika kita mau melihat lebih dalam lagi, setelah puluhan tahun berlalu ternyata semangat Kartini tak lagi murni. Mengapa ?. Coba perhatikan apa yang terjadi dengan sebagian wanita disekitar kita.

Banyak wanita yang saat ini dengan alasan ekonomi dan semangat berkarya, sangat gigih bekerja sampai lupa bahwa mereka telah melewati usia pernikahan dan berdampak pada kesulitan dalam mendapatkan pasangan, kemudian pasrah dan mengalah pada keaadan dengan mengatakan “jodoh itu ditangan Tuhan, ditunggu saja, nanti juga ada saatnya”.

Atau dengan alasan karir yang sama, seorang ibu rela menitipkan “pendidikan” anak-anaknya pada ibu kedua, alias baby sitter atau pengasuh anak, kemudian kembali mengatakan bahwa “kita bekerja untuk anak”.

Tak luput pula fenomena perceraian yang meningkat sangat tinggi, dan menyebabkan anak menjadi korban. Hakekat, semangat, serta daya tahan dalam perjalanan membina keutuhan rumah tangga demi keluarga, dan masa depan anak bangsa, bukan lagi menjadi prioritas dan tujuan utama dari pernikahan. Sehingga lagi-lagi alasan perceraian dengan pernyataan “ini adalah jalan terbaik untuk kita dan anak-anak” kembali terucap.

Ibu yang melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya, tak terbatas apakah dia mengenyam pendidikan atau tidak. Mulai dari kekerasan fisik maupun emosional, secara sadar ataupun tidak sadar. Ibu yang memaksakan kehendak kepada anaknya, mengatakan bahwa anak harus mewujudkan cita-cita orangtuanya, anak harus mengikuti pola pikir orangtuanya, anak harus menjadi seperti AKU, orang tuanya.

Tak lagi banyak kesempatan bagi anak untuk bisa berekspresi, bermain, berkarya, karena anak dipaksa mengikuti les ini-itu demi kemajuan logika semata, tanpa ada pengenalan dan pendidikan budi pekerti, nilai-nilai kehidupan, olah rasa, etika, atau ilmu bagaimana menghadapi dunia yang begitu beragam bentuk dan rupanya. Sehingga kembali lagi, muncul fenomena anak mengalami stress di usia yang sangat dini, kemudian sang ibu menganggap bahwa anaknya bermasalah dan harus diterapi oleh para ahli anak, salah satunya psikolog. Tapi coba kita lihat lebih jauh, sebenarnya siapa yang seharusnya mendapatkan terapi, anak atau sang Ibu?.

Minimnya pengetahuan, keterampilan dan pengenalan diri wanita tentang peran seorang Ibu, membuat pelaksanaan tujuan semangat Kartini yaitu, terobosan pendidikan yang ditujukan untuk kaum wanita agar kelak mereka dapat kembali mendidik anak-anaknya dengan baik, menjadikannya seorang manusia yang berguna, bernilai, berdaya juang tinggi, dan memiliki semangat untuk memajukan bangsanya tak lagi terwujud kembali secara murni.

Beberapa cerita diatas merupakan potret kehidupan sebagian wanita Indonesia, jadi bisa dibayangkan jika hal ini terus berulang dan berkembang, dari satu generasi ke generasi berikutnya, apa yang akan terjadi pada bangsa ini ?. Dimana semangat Kartini jika masih banyak anak yang terlantar atau terkena banyak kekerasan?. Dimana semangat Kartini jika masih banyak anak yang merasa “terpenjara” oleh pikiran, ego dan perselisihan orang tua dan keluarganya ?. Dimana semangat Kartini jika masih banyak wanita yang tak lagi dapat mempertahankan peran dan fungsinya dalam keluarganya, sebagai anak,ibu,kakak,adik, nenek atau yang lainnya.

Seorang wanita yang bisa mendidik dan membina seluruh anggota keluarganya, mewujudkan manusia Indonesia yang terbaik bangsanya dan dunia adalah investasi jangka panjang yang nilainya luar biasa, tak akan tergantikan oleh apapun. Simpanan pahala yang tak akan berhenti mengalir untuk seorang ibu, sampai bumi ini diambil kembali oleh sang Pencipta-Nya.

Emansipasi bukan semata-mata bertemakan tentang persaingan atau kesejajaran wanita dalam bidang pekerjaan, karya, berekspresi atau pendidikan dengan pria saja, tetapi lebih jauh dari itu, emansipasi wanita artinya “ menemukan kembali arti, makna, fungsi, peran dan hakikat seorang perempuan yang telah ditanamkan oleh Sang Khalik, menuntut ilmu setinggi-tingginya, berguru pada manusia dan alam sebanyak-banyaknya, kemudian kembali pulang , melaksanakan kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama, dan penjadi pondasi yang kokoh bagi diri, keluarga, serta kemaslahatan umat manusia tanpa harus berhenti berkarya”.

Bukankah ini semangat Kartini yang murni?.
Semoga bermanfaat!.

0 Responses to “Semangat Kartini Yang Tak Lagi Murni”

Posting Komentar

jangan lupa tinggalkan komentar ya... Thanks atas kunjungannya ..!!!

All Rights Reserved Mlaten Kota | Blogger Template by Bloggermint