Pudarnya Pesona Cleopatra


Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu.

“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu”, ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya.

Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bias berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.

Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai.

Rabbighfir li wa liwalidayya!



Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.

Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.

Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang

bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.

Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

“wallahu a’lam” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh pasrah.

Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu.

” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angina diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. ” Biasanya dikerokin” jawabku lirih.

” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadismesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. ” Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam.

Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bias dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dielukelukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ” Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.

Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memakimaki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu?

Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini. Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain.

Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.

Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya.

Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. ”Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. ” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku.

Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.

Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan.

Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntahmuntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku nggak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab.

Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan orang mana?. ”Orang Jawa”. ” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ”Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. “Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, samasama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.

Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali namun Yasmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengen rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya.

Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut.

Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. ” Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.

Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.

Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati.

Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya.

Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan ya Rabbii ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.

Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya.

Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya.

Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

” Raihana…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya” . ” Ada apa dengan dia”. ” Dia telah tiada”. ” Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya” .

Hatiku bergetar hebat. ” kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. “Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami”.

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana.

Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ……..


by Mas Javas · 1

Dibawa Sekalian Saja

Nasruddin pernah bekerja pada seorang yang sangat kaya, tetapi seperti biasanya ia mendapatkan kesulitan dalam pekerjaannya.

Pada suatu hari orang kaya itu memanggilnya, katanya, "Nashruddin kemarilah kau. Kau ini baik, tetapi lamban sekali. Kau ini tidak pernah mengerjakan satu pekerjaan selesai sekaligus. Kalau kau kusuruh beli tiga butir telur, kau tidak membelinya sekaligus. Kau pergi ke warung, kemudian kembali membawa satu telur, kemudian pergi lagi, balik lagi membawa satu telur lagi, dan seterusnya, sehingga untuk beli tiga telur kamu pergi tiga kali ke warung."

Nashruddin menjawab, "Maaf, Tuan, saya memang salah. Saya tidak akan mengerjakan hal serupa itu sekali lagi. Saya akan mengerjakan sekaligus saja nanti supaya cepat beres."

Beberapa waktu kemudian majikan Nashruddin itu jatuh sakit dan iapun menyuruh Nashruddin pergi memanggil dokter. Tak lama kemudian Nashruddin pun kembali, ternyata ia tidak hanya membawa dokter, tetapi juga bebarapa orang lain. Ia masuk ke kamar orang kaya itu yang sedang berbaring di ranjang, katanya, "Dokter sudah datang, Tuan, dan yang lain-lain sudah datang juga."

"Yang lain-lain? Tanya orang kaya itu. "Aku tadi hanya minta kamu memanggil dokter, yang lain-lain itu siapa?"

"Begini Tuan!" jawab Nashruddin, "Dokter biasanya menyuruh kita minum obat. Jadi saya membawa tukang obat sekalian. Dan tukang obat itu tentunya membuat obatnya dari bahan yang bermacam-macam dan saya juga membawa orang yang berjualan bahan obat-obat-an bermacam-macam. Saya juga membawa penjual arang, karena biasanya obat itu direbus dahulu, jadi kita memerlukan tukang arang. Dan mungkin juga Tuan tidak sembuh dan malah mati. Jadi saya bawa sekalian tukang gali kuburan."


by Mas Javas · 0

Penyakit Pengguna Baru Facebook

Pesatnya perkembangan Facebook membuat banyak orang yang belum pernah menjamahnya mencoba menghampiri dan bahkan menjadi fanatik sampai tak berkutik untuk meninggalkan komputer walupun hanya sedetik. Dengan bermodal penasaran seorang perjaka ting-ting bernama Afgan (bukan yang artis itu) mencoba mengikuti trend sekarang, karena takut dibilang ketinggalan jaman oleh teman-temannya di sekolah.

Afgan adalah orang yang sangat gaul dan bahkan bisa dibilang raja mode di sekolahnya, dari model sepatu convers sobek-sobek sampai celana nyesek(ketat) ala anak punk berambut jabrik yang ditakuti oleh tukang balon dijalan.

Suatu hari Afgan nongkrong bareng teman-teman gaulnya setelah mereka lama tidak berjumpa, dia mendengar ada yang asing dengan topik pembicaraan teman-temannya belakangan ini. Saipul dan Jamil adalah dua teman Afgan yang sering nongkong bareng, kemudian mereka berbincang

Saipul : gila mil, kemaren ada cewe cakep banget dah !

Jamil : temen di facebook lo ?

Saipul : hahaha.. belum, tunggu aja, gw udah add kok

Jamil : sip dah kita tunggu aja biar bisa liat dia anak mana..
(saipul dan jamil pun tertawa bersama..)

Saipul : oya gan, gimana facebook lo?

(dalam hati Afgan : aduh, apaan ya facebook?) dan karena mengartikan dari bahasa inggris Facebook= Muka Buku, Afgan dengan sok taunya menjawab

Afgan : ooo… itu aduh gw mah males baca, apalagi beli buku kek gitu

Saipul dan Jamil mengerutkan keningnya dan berkata : ah becanda lo ! pura-pura gak tau web setenar itu. Kan lo anak tergaul di sekolah kita

Jantung Afganpun berdetak kencang karena malu salah menjawab, dan dengan sedikit trik dia mengalihkan pembicaraan dan bergegas izin pergi duluan.

Afgan : hahaha.. becanda gue. Afgan gitu lo ! gw kan emang selalu ikut trend terdepan. Oya sorry nyokap gw tadi telepon, suruh jemput ade gw di tempat les baletnya (padahal sih disuruh ngangkatin cucian dirumah)

Setelah selesai mengangkat cucian Afgan bergegas mencari warnet terdekat. Dengan kebingungan Afgan celingak-celinguk nyari orang yang mau dia tanya tentang Facebook. Karena malu, diapun sms engkongnya yang ternyata lebih gaul di internet dan hatam sekali segala hal tentang Facebook.

Sesuai instruksi kakeknya Afgan menuju sebuah web bernama tips-fb.com yang mempunyai artikel cara daftar Facebook. Dengan cepat Afgan menyelesaikan pembuatan Facebooknya karena tidak tahan membayangkan jika dia harus mendengar ejekan dari teman-temannya dan dibilang cupu (culun punya ?)

Kita menunju ke inti ! kenapa berjudul “Penyakit Pengguna Baru Facebook”

Karena masih belum melek Facebook Afgan pun mencari kira-kira bagaimana cara agar tidak terlihat masih baru di Facebook. Tanpa berfikir panjang dia add satu per satu orang yang tidak dikenal “dari pada ketaun ipul dan jamil mending gw add aja cw-cw cakep “. Bermodal tak kenal maka tak sayang diapun meluncurkan kalimat-kalimat perkenalan yang sedikit berbau gombal kepada calon teman barunya.

Penyakit yang diderita Afgan di Facebook banyak dialami pengguna baru Facebook lainnya seperti:
Add user di Facebook walaupun tak dikenal, yang penting :

* cantik atau ganteng :o
* punya hobi yang sama :p
* keliatan eksis di facebook dengan teman banyak :siul:
* cuma sekedar iseng :ngacir:

Selalu mengapprove, karena tidak enak menolak :

* aplikasi, walupun hanya mengklik approve dan allow aja tanpa dimaenin :shutup:
* kuis, walaupun banyak yang gak penting :hammer:
* undangan event, walaupun sebenernya gak bakal dateng :amazed:
* group, walupun gak tahu itu group apaan :berbusa:
* suggest friend & friend request, walupun tidak dikenal dan jangan-jangan maho :kissing:

Bagaimana kelanjutan kisah Afgan sang pengguna baru Facebook?


by Mas Javas · 0

Suami Jelek Yang Bersyukur dan Istri Cantik Yang Bersabar

Seorang lelaki yang pendek dan buruk rupanya suatu hari duduk-duduk bersama istrinya yang sangat cantik Jelita. Si lelaki tak berkedip memandang wajah istrinya yang cantik jelita.
Agak tersipu-sipu, sang istri pun berkata, “Kau ini kenapa sih, kok dari tadi memandangku saja?”
“Kulihat wajahmu,” jawab si suami,
“semakin hari kok semakin cantik saja. Maka setiap kali aku melihatmu, semakin bertambah syukurku.”
“Ya, “kata si istri,
” dan kita berdua nanti akan masuk surga.”
“Lho, darimana kautahu?”
“Bukankah hamba yang bersyukur dan hamba yang bersabar akan masuk surga. Kau bersyukur karena mendapat anugerah istri cantik seperti aku. Sedangkan aku bersabar mendapat cobaan berupa suami jelek seperti kau”.


by Mas Javas · 0

Asal Usul Ayam dan Telur

Melihat ayam betinanya bertelur, Baginda tersenyum. Beliau memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barang siapa yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas: Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.

Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas. Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal. Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.


Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung. Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta pertama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya, "Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?"
"Telur." jawab peserta pertama.
"Apa alasannya?" tanya Baginda. "Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur." kata peserta pertama menjelaskan. "Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?" sanggah Baginda.

Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. Ia tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara. Kemudian peserta kedua maju. Ia berkata, "Paduka yang mulia, sebenamya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan."
"Bagaimana bisa bersamaan?" tanya Baginda. "Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila telur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami." kata peserta kedua dengan mantap.
"Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?" sanggah Baginda memojokkan. Peserta kedua bingung. Ia pun dijebloskan ke dalam penjara. Lalu giliran peserta ketiga. Ia berkata, "Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur."
"Sebutkan alasanmu." kata Baginda. "Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina." kata peserta ketiga meyakinkan. "Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak ada." kata Baginda memancing.
"Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri." peserta ketiga berusaha menjelaskan.

"Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?" Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. Ia pun dimasukkan ke penjara. Kini tiba giliran Abu Nawas. Ia berkata, "Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam."
"Coba terangkan secara logis." kata Baginda ingin tahu
"Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam." kata Abu Nawas singkat. Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak bisa menyanggah alasan Abu Nawas dan terpaksa harus memberi uang dalam jumlah besar sebagai hadiah untuk Abu Nawas.


by Mas Javas · 0

GARA-GARA BANYAK AKAL DAN SOK PINTAR

Seorang santri baru saja lulus aliyah pesantren dengan nilai jayyid jiddan. Lumayan pintar. Dia berencana mengadu nasib di Jakarta.
Saat tiba di Stasiun Pasar Senen dia melihat kerumunan orang. Rupanya sedang ada kecelakaan. Di Jakarta, kecelakaan bisa menjadi tontonan yang menarik. Baiklah! dia ikut menonton saja.
Namun teryata kerumunan itu terlalu berjubel sehingga ia tidak bisa melihat korban. Apalagi postur tubuhnya kecil. Jangankan mendekat, melihat korban saja sulit.
Tapi dia tidak kurang akal. Dia langsung berteriak. "Saya keluarganya..!" katanya sambil mengacungkan jari.
Orang-orang memandanginya. Mereka langsung memberi kesempatan santri tadi menghampiri korban kecelakaan.
Santri langsung mendekati korb


by Mas Javas · 0

TAKUT MISKIN DI AKHIRAT

Mengingat harga-harga barang kebutuhan terus meningkat, seorang pemuda selalu mengeluh karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah berdiskusi dengan seorang kiai makrifat, pemuda itu pun mengikuti anjurannya untuk menjalankan shalat Hajat serta tetap istiqomah melaksanakan shalat wajib lima waktu.
”Pak Kiai, tiga tahun sudah saya menjalankan ibadah sesuai anjuran Bapak. Setiap hari saya shalat Hajat semata-mata agar Allah SWT melimpahkan rezeki yang cukup. Namun, sampai saat ini saya masih saja miskin,” keluh si pemuda.
“Teruskanlah dan jangan berhenti, Allah selalu mendengar doamu. Suatu saat nanti pasti Allah mengabulkannya. Bersabarlah!” Jawab sang kiai.
”Bagaimana saya bisa bersabar, kalau semua harga kebutuhan serba naik! Sementara saya masih juga belum mendapat rezeki yang memadai. Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup?”
”Ya tentu saja tetap dari Allah, pokoknya sabar, pasti ada jalan keluarnya. Teruslah beribadah.”
”Percuma saja Pak Kiai. Setiap hari shalat lima waktu, shalat Hajat, shalat Dhuha, tapi Allah belum juga mengabulkan permohonan saya. Lebih baik saya berhenti saja beribadah…” jawab pemuda itu dengan kesal.
”Kalau begitu, ya sudah. Pulang saja. Semoga Allah segera menjawab permintaanmu,” timpal kiai dengan ringan.
Pemuda itu pun pulang. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya hingga tiba di rumah. Ia menggerutu tak habis-habisnya hingga tertidur pulas di kursi serambi. Dalam tidur itu, ia bermimpi masuk ke dalam istana yng sangat luas, berlantaikan emas murni, dihiasi dengan lampu-lampu terbuat dari intan permata. Bahkan beribu wanita cantik jelita menyambutnya. Seorang permaisuri yang sangat cantik dan bercahaya mendekati si pemuda.
”Anda siapa?” tanya pemuda.
”Akulah pendampingmu di hari akhirat nanti.”
”Ohh… lalu ini istana siapa?”
”Ini istanamu, dari Allah. Karena pekerjaan ibadahmu di dunia.”
”Ohh… dan taman-taman yang sangat indah ini juga punya saya?”
”Betul!”
”Lautan madu, lautan susu, dan lautan permata juga milik saya?”
”Betul sekali.”
Sang pemuda begitu mengagumi keindahan suasana syurga yang sangat menawan dan tak tertandingi. Namun, tiba-tiba ia terbangun dan mimpi itu pun hilang. Tak disangka, ia melihat tujuh mutiara sebesar telor bebek. Betapa senang hati pemuda itu dan ingin menjual mutiara-mutiara tersebut. Ia pun menemui sang kiai sebelum pergi ke tempat penjualan mutiara.
“Pak Kiai, setelah bermimpi saya mendapati tujuh mutiara yang sangat indah ini. Akhirnya Allah menjawab doa saya,” kata pemuda penuh keriangan.
”Alhamdulillah. Tapi perlu kamu ketahui bahwa tujuh mutiara itu adalah pahala-pahala ibadah yang kamu jalankan selama 3 tahun lalu.”
”Ini pahala-pahala saya? Lalu bagaimana dengan syurga saya Pak Kiai?”
”Tidak ada, karena Allah sudah membayar semua pekerjaan ibadahmu. Mudah-mudahan kamu bahagia di dunia ini. Dengan tujuh mutiara itu kamu bisa menjadi miliader.”
”Ya Allah, aku tidak mau mutiara-mutiara ini. Lebih baik aku miskin di dunia ini daripada miskin di akhirat nanti. Ya Allah kumpulkan kembali mutiara-mutiara ini dengan amalan ibadah lainnya sampai aku meninggal nanti,” ujar pemuda itu sadar diri. Tujuh mutiara yang berada di depannya itu hilang seketika. Ia berjanji tak akan mengeluh dan menjalani ibadah lebih baik lagi demi kekayaan akhirat kelak.


by Mas Javas · 0

Berjuang Untuk Berserah


“Kataballohu maqoodiirol kholaaiqo qobla ayyakhluqossamaawaati
wal ardho bi khomsiina alfa sanatin. (Allah telah menulis qodar-qodar nya makhluk limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi – H.R. Muslim dalam Kitabul Qodar)”


***

Sore itu tidak sama seperti sore yang lain. Di dalam benak ku, semua mendadak menjadi gelap. “Masya Allah”, lafadz ku dalam hati dengan bibir bergerak. Aku kaget luar biasa. Kabar yang kudapat dari e-mail,dari sabahat yang sudah seperti adik ku sendiri Dawud Abd, benar-benar membuat sekujur tubuhku lemas seperti tak bisa di gerakan. Achsan Indriadi, sahabatku yang baik divonis dokter terkena penyakit yang sekarang paling ditakuti, H5N1 alias flu burung. Penyakit yang mematikan. “Ya Allah”, kami pasarah padamu. Aku terduduk lemas, semua mendadak gelap dalam benak ku. “Kenapa harus Achsan? Kenapa tidak yang lain nya? Kenapa bukan koruptor? Kenapa bukan teroris? Kenapa..kenapa?? kenapa???.” Kalimat Tanya itu menyeruak seperti tak berhenti dan tidak menemukan tanda titik untuk menghentikan nya. Zikir dan do’a selepas sholat ashar, semakin kurasa kuat sekali. Bahkan aku merasakan do’a-do’a yang kulafaldzkan sangat bertenaga. aku berusaha berdamai dengan jiwaku (Allah, pertolonganmu pasti dekat)

Achsan, adalah seorang pekerja di sebuah perusahaan swasta di bilangan Jakarta Utara. Dalam setahun ini (2009), Achsan, seperti ceritanya padaku, merasa sedang dicoba oleh Allah. Ia juga bilang sedang merasakan manisnya keimanan, sampai dia merasa sekarat. Lelaki kelahiran 15 November 1973 itu berkali-kali bercerita tentang mimpi-mimpi yang dialaminya ketika dia tak sadarkan diri, akibat panas yang tinggi.

Di tahun 2009 ini, sudah 3 kali Achsan masuk rumah sakit. di bulan Februari ia terkena lumpuh kaki kanan akibat cedera tulang punggung. Bulan April ia kembali masuk rumah sakit akibat HNP (syaraf tulang punggung terjepit) yang mempengaruhi fungsi organ dalam.

***

Aku kembali tertegun tak bisa berkata-kata. Email dari Dawud, kembali kubaca dengan dada bergetar hebat. Achsan sakit lagi, kali ini tak main-main. Flu Babi. Aku diam, berusaha untuk kuat melanjutkan membaca e-mail Dawud dengan sangat hati-hati. Pikiran ku melayang jauh, membayangkan betapa sedih nya hati anak-anak Achsan. Amorita (10 th), Achmar (3,5 th), serta Aimar (1,5 th), juga istrinya Nina Marlina. Meski kutahu, istri dan ketiga anak Achsan, bukanlah orang sembarangan, mereka sangat dekat dengan kehidupan Agama serta sangat penyabar. Bathinku berkata sendiri, tetap tak mudah menghadapi ini semua.

Kabar terakhir, di bulan Juli Achsan masuk rumah sakit lagi, tapi kali ini sangat mengejutkan. Ia sakit akibat burung dan Flu babi. Otomatis sejak bulan Januari hingga hari ini Achsan tidak dapat bekerja dan mencari nafkah dan dan meelakukan seabrek aktivitas positif lainnya

Dalam catatan Achsan yang sempat ku baca, di Bulan Juni yang lalau, ia memang sempat pergi tugas ke luar negeri, tepatnya ke Pakistan, namun hingga akhir bulan Juni jsepulang dari Luar Negeri, Achsan tak merasa ada sesuatu perubahan dalam tubuhnya. Semua berjalan normal dan biasa saja. Ia pun tidak mengalami sakit pernafasan. Hari hari berjalan normal dan ia beraktivitas dan bekerja seperti biasa

Pada tanggal 9 dan 10 Juli, Achsan bahkan masih sempat pergi mengisi liburan bersama anak dan istrinya, ke beberapa tempat pedesaan di Depok dan Bogor, dan kerumah orang tua nya. Secara beruntun setelah pulangdari liburan mereka sekeluarga sakit pilek. Achsan sendiri merasakan masuk angin yang berat. Karenamerasa dirinya kecapean, ia pun melakukan pijat refleksi, di rumah seorang teman nya Taufik Wibisono. Namun flu yang dirasakan Achsan tak kunjung hilang. Selama 3 hari Achsan minum obat flu tetapi tidak juga menunjukan kondisi yang membaik. Achsan memutuskan memeriksakan diri di RS Mitra Keluarga Bekasi Barat. Saat itu suhu tubuh nya 41 dcelcius, dan selalu muntah. Komdisi Achsan yang sangat tidak memungkinkah akibat muntah berat, dokter menyarakan Achsan dirawat di rumah sakit itu.

***

Hingga hari kelima Achsan dirumah sakit, tidak ada perubahan yang berarti, bahkan semakin parah. Dokter pun sedikit panik, karena Achsan sudah demam tinggi (hingga 41,5 dcelcius) sudah 8 hari. Mulai hari kedelapan demam tinggi Achsan disertai batuk dengan mengeluarkan darah segar, praktis ejak itu pernapasan nya mulai terganggu, dan Achsan pun bernafas dibantu dibantu oleh oksigen.

Dokter berusaha keras membantu Achsan untuk sembuh dari penyakitnya. Beberapa obat diinjeksi masuk ke dalam tubuhnya, malah mengakibatkan lidah dan tenggorokan Achsan terasa terbakar (hingga saat ini masih belum bisa merasa dengan baik). Lambung Achsan pun sudah tidak bisa menerima makanan dan minuman, selalu dimuntahkan. Puncaknya, sample dahak Achsan langsung di kirim ke Depkes. Dua hari kemudian, hasil pemeriksaan Laboratorium keluar. Hasilnya mengejutkan semua anggota keluarga. Achsan terkena H5N1, alias flu burung. Torax nya pun s dirontgen ulang secara lebih detail, dan hasilnya Achsan pneumonia berat dan sebagian paru-paru nya sudah terisi air.

“Allah, engakau begitu dekat”, gumamku panjang. Kembali aku mengingat Achsan yang sedang berjuang sekuat tenaga dalam do’a nya untuk sembuh

***

Pada hari yang sama Achsan dirujuk ke RS persahabatan (sentral penderita flu burung), tetapi karena ICU nya penuh, Achsan dirujuk ke ICU RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso. Saat dipindahakan Achsan merasa terhina sekali, “Saya merasa terhina, saya dipindahkan oleh staf kesehatan perpakaian isolasi komplet seperti di film Hollywood”, tuturt Achsan padaku. Jalan, gang, elevator semuanya dibersihkan dari pengunjung saat Achsan lewat. Semua petugas keamanan menggunakan masker. Semua mendadak horror. “ Kok , saya seperti punya penyakit nista”, tutur achsan saat itu, seperti diceritakan nya padaku. Achsan tiba di ICU penderitaan tubuh nya pun dirasakan nya bertambah. Infus saya bercabang 3, plus selang injeksi, ia rasakan semakin membuat penderitaan nya semakin bertambah. Achsan juga merasakan kerongkongan semakin tak enak dirasakan nya, karena dikasih selang. Bukan itu saja, Achsan semakin merasa tak nyaman, ketika kateter dipasang untuk memudahkan nya buang air kecil. Achsan sempat menangis, ketika merasa tak kuat untuk berdiri dan buang air besar. Pup (BAB) pun dilakukan dengan menggunakan pampers. “Masya Allah, betapa tidak enak dan nyaman nya”, pekik Achsan

Saat-saat bernafas dirasanya tak nyaman. Achsan bernafas dengan masker oksigen (ia menolak intubasi), disamping itu juga dipasang alat rekam jantung dan saturasi.

( diruangan kaca kecil yang sangat berisik, dengan suara peralatan medic, dalam kondisi lelah namun masih sadar, Achsan melihat ruang-ruang ICU diisi oleh beberapa pasien yang memang sudah sekarat, kebanyakan kondisinya tidak sadar)

Keesokan harinya, tepatnya hari jum’at yang Achsan lupa tanggal nya ada hal yang membuat Achsan bertambah lemas. Achsan menjalani pemeriksaan loboratoriom ke dua. Hasil lab hari itu, ternyata menunjukan hasil yang mengerikan. Achsan bukan saja positif positif H5N1 tapi juga H1N1 alias flu babi (yang konon berasal dari Meksiko).


Seperti diketahui, flu burung dan flu babi adalah penyakit baru yang cukup berbahaya. Penyakit ini mudah sekali menular hanya dengan kontak fisik. Bahkan jika terlambat ditangani, penyakit ini juga bisa memakan korban jiwa. Dengan kondisi semacam ini,

….siapapun tak bisa menolak qodar Allah………

Di ICU Achsan masih dalam keadaan lemah. Tekanan darah sistole nya selalu dibawah 100, dan detak jantung lambat (hanya 15 hingga 25 denyut per menit), sementara oksigen darah Achsan hanya 50% dari normal. Achsan lebih sering tertidur dibanding terbangun, bahkan secara rutin perawat membangunkan Achsan agar tetap tersadar dan tidak pingsan.

Achsan berusaha sekuat tenaga untuk tidak pingsan. Dalam panas tinggi dan menderita penyakit mengerikan dua sekaligus, ia masih tetap berzikir, berdo’a dan pasrah pada Allah. Kepasrahan Achsan, mengingatkan saya pada sebuah kisah yang berjudul Struggling to Surrender – berjuang untuk berserah. Sungguh Achsan sedang berjuang dan berserah diri pada Allah

“Saya merasakan manis nya keimanan”, tutur Achsan padaku. Saat ia dirumah sakit, saudara seta teman-teman nya sealu setia menemani. Ada saudaranya yang sudah menyiapkan pasir untuk Tayamum dalam plastic kresek hitam, untuk dia berwudhu

Ia mengaku, setiap perawat selalu bertanya ini apa? “ ini obat special”, ujar nya tanpa mau memperpanjang obrolan, karena ia merasa lelah. Setiap waktu sholat ada saja orang yang mengingatkanya.

Syukurnya, istri Achsan membekali sekali Quran dan buku doa. Meski sakit tak terperi, Achsan berusaha membaca Al-Qur’an yang selalu berada tak jauh dari tangan nya

Di ruangan sunyi dan terisolir itu, Achsan sangat terasa bisikan bisikan syetan untuk tidak sabar, untuk merasa berat melakukan ibadah sholat, sering dibuat mimpi-mimpi yang melemahkan keimanan, untuk menyerah dengan keadaan dan pasrah pada perasaan lemah. sesekali bisikan untuk putus asa, dan yang parah adalah prasangka buruk pada Allah

innal’abda idza sabaqot lahu minnallooh manzilatun lam yablugh haa bi’amalihi ibtalaahulloh fii jasadihi au fii maalihi au fii waladihi summa shobbaro’alaa dzalik summattafaqoo hattayub lighohul manzilatallatii sabaqot lahu minnalloohi ta’alaa – sesungguhnya seorang hamba Allah ketika telah mendahului padanya (qodar) drajat dari Allah yang dia tidak bisa mencapai dengan amalan nya, maka Allah member cobaan padanya, di dalam jasadnya atau hartanya atau anak nya, kemudian Allah memberi lagi kesabaran pada nya dalam menghadapi cobaan tersebut sehingga Allah menyampaikan padanya derajat yang telah di qodar untuknya disisi Allah ta’ala. (HR. Abudawud)

Tapi semua itu, bisa dijalani Achsan dengan baik. Pada saat inilah nasehat, ajakan berdoa, peringatan untuk sholat bisa dengan segera menghilangkan pengaruh-pengaruh syetan tadi. Semangat itu didapatkan Achsan tiap hari.

Semangat untuk sembuh dan berharap pertolongan Allah, semakin kuat dirasakan Achsan ketika suatu siap dia melihat pasien baru masuk ke ruang depan dimana Achsan dirawat

“di ruangan yang ada di depan saya datang seorang Bapak berusia atas 50 tahun. Ia datang dalam keadaan lebih bugar dari saya, dan dengan kasus yang sama dengan saya (H5N1 & H1N1), hanya bertahan sehari dan besoknya meninggal. di ruang sebelah, ada bocah usia 5 tahun, Masuk dengan Pneumonia seperti saya, dan saat 4 hari saya di ICU, bocah tersebut meninggal. Rasanya dekat sekali saya dengan maut” ungkap Achsan.

Tapi sebaliknya, melihat kondisi itu malah membuat ia tambah semangat untuk sembuh. Tidak ada perasaan takut atau getir pada saat itu, tapi yang ia rasakan adalah rasa penyesalan atas perilaku saya selama ini, yang kurang mengepolkan ibadah

(dalam hati Achsan ingat suatu dalil, setiap yang bernyawa akan merasakan mati, dan mati itu datangnya sewaktu-waktu)

Achsan sempat tak sadarkan diri. Dalam kondisi tak sadar itu, ia bermipi dan mengingat dengan jelas mimpinya. Dalam mimpi itu tiba-tiba ada sosok yang menunjukan pilihan-pilihan pada Achsan. Pilihan baik atau buruk, pilihan sukses atau gagal, pilihan hidup atau mati. Semua pilihan yang baik, diwakili dengan arah kanan, pilihan yang buruk di wakili dengan arah kiri

Achsan pun memilih arah kanan. Dalam perjalanan nya kea rah kanan, ternyata Achsan di ajak kesebuah gunung, dimana gunung itu dikelilingi oleh jurang yang sangat dalam. Dalam mimpi itu ia bertemu banyak orang yang sedang kehausan. Digunung itu tak ada air. Yang tak sabar memilih lompat ke dalam jurang yang dalam, dan mati tak kembali

Achsan tetap bertahan dalam kehausan dan ia tak mau masuk dalam jurang itu. Saat terjaga, panas badan nya menurut. Hasil pemeriksaan terakhir, Achsan sembuh dari kedua penyakit yang mengerikan itu

Achsan merasakan hadir sebagai ksatria baru dalam hidupnya setelah sembuh. Ksatria yang kusebut disini bukanlah ksatria bertopeng atau ksatria dalam pewayangan. Melainkan ksatria dalam diri, berjuang, beribadah pada Allah

Kata Nabi Ibrahim: "Wa idzaa maridltu fa huwa yasyfiin" - dan ketika sakit aku, maka Dia yang menyembuhkan.

Menuntaskan tulisan ini, aku teringat sebuah puisi

Ke mana pun kau menoleh
Kita bakal bertemu
Karena kau hanya daging

Kemanapun kau menoleh
Kita bakal bertemu
Karena kau hanya tulang
bakal merapuh dalam sendiku

kalimat-kalimat dahsyat dalam sajak Gus tf, yang bertajuk “Bakal”, tahhun 2001 itu, seperti luruh dalam jiwaku.

Achsan aku belajar dari kisahmu. Tetap semangat dan hebat, saudaraku

Bumi Allah, 11 Agustus 2009



by Mas Javas · 0

All Rights Reserved Mlaten Kota | Blogger Template by Bloggermint